Minggu, 25 Desember 2022

Tingkah Laku Agama yang Menyimpang

Nama/Nim            : Tania Monica 2011320057
Prodi/Kelas           : BKI 5B
Dosen Pengampu  : Wira Hadikusuma, S

A.  Pengertian Perilaku Menyimpang

     Perilaku menyimpang ialah perilaku yang tidak sesuai dengan norma dan nilai yang dianut oleh masyarakat atau kelompok. Perilaku menyimpang disebut non konformitas. Perilaku yang tidak menyimpang disebut konformitas, yaitu bentuk interaksi seseorang yang berusaha bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, tidak semua orang bertindak berdasarkan norma-norma dan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat.

     Prof. Dr. Kasmiran Wuryo M.A. membagi norma sebagai tolok ukur tingkah laku dilihat dari penduduknya, menjadi beberapa macam, antara lain: norma pribadi, norma grup (kelompok), norma masyarakat, norma susila, dan sebagainya. Dengan demikian, norma keagamaan merupakan salah satu bentuk norma yang menjadi tolok ukur tingkah laku keagamaan seseorang, kelompok atau masyarakat yang mendasarkan nilai-nilai luhurnya pada ajaran agama.

Menurut Kasmiran, menurut sifat dan sumbernya norma itu dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu:

1.  Tradisional

     Tradisi merupakan norma yang proses perkembangannya berlangsung secara otomatis dan nila-nilai yang membentuknya berasal dari bawah. Karena proses perkembangannya cukup lama, sehinnga sering tidak diketahui lagi sumber serta alasan tentang mengapa suatu perbuatan selalu dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang diyakini kebenarannya. Bahkan, terkandung dibela secara fanatik, sehingga orang menjadi takut jika tidak melakukannya. Norma yang dalam tradisi semacam ini menurut Kasmiran Wuryo, tidak lagi bersifat rasional melainkan sudah bersifat tradisional dogmatic dan supranatural.

2.   Formal

     Norma ini melalui pembentukan dari atas dan bersumber dari berbagai ketentuan formal yang berlaku di masyarakat. Sumbernya dapat berupa undang-undang peraturan ataupun kebijaksanaan formil dari masyarakat yang materinya merupakan norma yang dijadikan tolak ukur salah benarnya tingkah laku dan kehidupan masyarakat.

     Dari pernyataan di atas terlihat bahwa, baik norma tradisional maupun formal bersumber dari nilai-nilai luhur yang diperkirakan dapat dijadikan tolak ukur tingkah laku. Dalam masyarakat beragama, walaupun secara tegas sulit untuk diteliti, namun diyakini norma-norma yang berlaku dalam kehidupan tak mungkin lepas dari nilai-nilai luhur agama yang mereka anut. Karena itu, dalam kondisi yang bagaimanapun, bentuk tingkah laku yang menyimpang masih dapat diketahui dan dibedakan dari norma-norma yang berlaku.

B. Aliran Klenik

     Klenik dapat diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan akan hal-hal yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal. Dalam kehidupan masyarakat, umumnya klenik ini erat kaitannya dengan praktik perdukunan, hingga sering dikatakan dukun klenik. Dalam kegiatannya dukun ini menggunakan guna-guna atau kekuatan gaib lainnya dalam pengobatan.

     Salah satu aspek dari ajaran agama adalah percaya terhadap kekuatan gaib. Bagi penganut agama masalah yang berkaitan dengan hal gaib ini umumnya diterima sebagai suatu bentuk keyakinan yang lebih bersifat emosional, ketimbang rasional. Sisi-sisi yang menyangkut kepercayaan terhadap hal-hal gaib ini tentunya tidak memiliki batas dan indikator yang jelas, karena semuanya bersifat emosional dan cenderung berada di luar jangkauan nalar. Karena itu tidak jarang dimanipulasi dalam bentuk kemasan yang dihubungkan dengan kepentingan tertentu. Manipulasi melalui kepercayaan agama lebih diterima oleh masyarakat, sebab agama erat dengan sesuatu yang sakral.

     Masalah yang menyangkut sesuatu yang gaib dan nilai-nilai sakral keagaman ini dalam kehidupan masyarakat sering pula diturunkan pada pribadi-pribadi tertentu. Proses ini menimbulkan kepercayaan bahwa seseorang dianggap mempunyai kemampuan luar biasa dan dapat berhubungan dengan alam gaib. Dalam kenyataan di masyarakat praktik yang bersifat klenik memiliki karakteristik yang hampir sama, yaitu:

1. Pelakunya menokohkan dirinya sebagai orang suci.
2. Mendakwahkan diri memiliki kemampuan luar biasa.
3. Ajaran agama sebagai alat untuk menarik kepercayaan masyarakat.
4. Kebenaran ajarannya tidak dapat dibuktikan secara rasional.
5. Memiliki tujuan tertentu yang cenderung merugikan masyarakat.

C. Konversi Agama

     Secara etimologi konversi berasal dari kata lain “Conversio” yang berarti: tobat, pindah, dan berubah (agama). Selanjutnya kata tersebut dipakai dalam kata Inggris Conversion yang mengandung pengertian: berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or from one religion, to another). Berdasarkan arti kata-kata tersebut dapat disimpulkan bahwa konversi agama mengandung pengertian: bertobat, berubah agama, berbalik pendirian terhadap ajaran agama atau masuk ke dalam agama.

     Sedangkan menurut terminologi pengertian konversi agama seperti yang dikemukakan oleh Max Heirich. Ia mengatakan bahwa konversi agama adalah suatu tindakan di mana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya. Konversi agama banyak menyangkut masalah kejiwaan dan pengaruh lingkungan tempat berada. Selain itu, konversi agama yang dimaksudkan uraian diatas memuat beberapa pengertian dengan ciri-ciri:

1.   Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya.
2.  Perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi secara berproses atau secara mendadak.
3.    Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke agama lain, tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang dianutnya sendiri.
4.    Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itu pun disebabkan faktor petunjuk dari Yang Mahakuasa.

D. Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Konversi Agama

     Para ahli agama menyatakan, bahwa yang menjadi faktor pendorong terjadinya konversi agama adalah petunjuk Ilahi. Pengaruh supranatural berperan secara dominan dalam proses terjadinya konversi agama pada diri seseorang atau kelompok. Sedangkan para ahli sosiologi berpendapat, bahwa yang menyebabkan terjadinya konversi agama adalah pengaruh sosial. Pengaruh sosial yang mendorong terjadinya konversi itu terdiri dari adanya berbagai faktor antara lain:

1.      Pengaruh hubungan antar pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun nonagama.
2.      Pengaruh kebiasaan yang rutin.
3.      Pengaruh anjuran atau propaganda dari orang-orang yang dekat.
4.      Pengaruh pemimpin keagamaan.
5.      Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi.
6.      Pengaruh kekuasaan pemimpin.

     Lain halnya dengan para ahli psikologi, mereka berpendapat bahwa yang menjadi pendorong terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor intern (kepribadian, pembawaan) maupun ekstern (keluarga, lingkungan tempat tinggal, perubahan status, kemiskinan). Faktor-faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang atau kelompok hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan terdorong untuk mencari jalan ke luar yaitu ketenangan batin. Satu lagi pendapat dari para ahli ilmu pendidikan yang menyatakan bahwa konversi agama dipengaruhi oleh kondisi pendidikan. Penelitian ilmu sosial menampilkan data dan argumentasi, bahwa suasana pendidikan ikut mempengaruhi konversi agama.

E. Proses Konversi Agama

     Proses konversi agama ini dapat diumpamakan seperti proses pemugaran sebuah gedung, bangunan lama dibongkar dan pada tempat yang sama didirikan bangunan baru yang lain yang sama dengan bangunan sebelumnya. Jadi bila pada seseorang atau kelompok, konversi agama seperti perubahan dari segala bentuk perasaan batin terhadap kepercayaan lama, seperti harapan, rasa bahagia, keselamatan, dan kemantapan berubah menjadi berlawanan arah.

     Perasaan yang berlawanan itu menimbulkan pertentangan dalam batin, sehingga untuk mengatasi kesulitan tersebut harus dicari jalan penyalurannya. Umumnya apabila gejala tersebut sudah dialami oleh seseorang atau kelompok maka dirinya menjadi lemah dan pasrah atau pun timbul semacam peledakan perasaan untuk menghindarkan diri dari pertentangan batin itu. Ketenangan batin akan terjadi dengan sendirinya bila yang bersangkutan telah mampu memilih pandangan hidup yang baru. Pandangan hidup yang dipilih tersebut merupakan petaruh bagi masa depannya, sehingga menurut ia pegangan baru dalam kehidupan selanjutnya.

M.T.L. Penido berpendapat, bahwa konversi agama mengandung dua unsur, yaitu:
1. Unsur dari dalam diri, yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok.
2. Unsur dari luar, yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri seseorang atau kelompok, sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang bersangkutan.

Perubahan yang terjadi tetap melalui proses tahapan dalam bentuk kerangka proses secara umum. Kerangka proses itu dikemukakan antara lain oleh:

a. H. Carrier, membagi proses tersebut dalam pentahapan sebagai berikut:
1.    Terjadi disintegrasi sintesis kognitif dan motivasi sebagai akibat dari krisis yang dialami.
2.    Reintegrasi kepribadian berdasarkan konversi agama yang baru.
3.    Tumbuh sikap menerima konsepsi agama baru serta peranan yang dituntut oleh ajarannya.
4.    Timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan suci petunjuk Tuhan.

b. Dr. Zakiah Daradjat memberikan pendapatnya yang berdasarkan proses kejiwaan yang terjadi melalui 5 tahap, yaitu: masa tenang, masa ketidaktenangan, masa konversi, masa tenang dan tenteram dan terakhir masa ekspresi konversi.

     Jadi pada dasarnya proses konversi agama berlangsung secara bertahap. Dan secara umum bisa digambarkan dari seseorang atau kelompok yang semula tenang dalam artian acuh tak acuh terhadap agama yang dianutnya hingga kemudian muncul masalah baru yang menyebabkan adanya goncangan batin. Ia merasa tidak yakin dengan keyakinan yang ia anut hingga ia menemukan keyakinan baru dan dengan keyakinan yang baru itulah ia mulai menemukan ketenangan. Dengan ketenangan yang diperolehnya dari keyakinan baru tersebut ia akan mengungkapkan sikap menerima dan mengikuti keyakinannya itu. Segala perbuatannya didasarkan pada keyakinan baru yang ia yakini.

F. Konflik Agama

     Konflik agama sebagai perilaku keagamaan yang menyimpang, dapat terjadi karena adanya “pemasungan” nilai-nilai ajaran agama itu sendiri. Maksudnya, para penganut agama seakan “memaksakan” nilai-nilai ajaran agama sebagai “label” untuk membenarkan tindakan yang dilakukannya. Padahal, apa yang mereka lakukan sesungguhnya bertentangan dengan nila-nilai ajaran agama itu sendiri. Penyimpangan itu adanya sebab dan pengaruh yang melatar belakanginya.

1. Pengetahuan Agama yang Dangkal

     Secara psikologis, masyarakat awam cenderung mendahulukan emosi ketimbang nalar. Kondisi ini, memberi peluang bagi masuknya pengaruh-pengaruh negative dari luar yang mengatasnamakan agama. Apabila pengaruh tersebut dapat menimbulkan respon emosional, maka konflik dapat dimunculkan. Tegasnya, mereka yang awam  akan berpeluang diadu domba.

2. Fanatisme

     Dalam kehidupan masyarakat, ketaatan beragama cenderung dipahami sebagai “pembenaran” yang berlebihan. Pemahaman yang demikian itu akan membawa kepada sikap fanatisme, hingga menganggap agama yang dianutlah yang paling benar.

3. Agama sebagai Doktrin

     Ada kecenderungan di masyarakat, bahwa agama dipahami sebagai doktrin yang bersifat normative. Pemahaman yang demikian, membuat ajaran agama menjadi sempit. Hal seperti ini menjurus pada munculnya kelompok-kelompok ekstrem dalam bentuk gerakan sempalan eksklusif. Kondisi seperti itu bagaimana pun akan mengurangi sikap toleran yang dapat mengganggu hubungan antarsesama umat beragama.

4. Simbol-simbol

     Dalam kajian antropologi, agama ditandai oleh keyakinan terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati (supranatural), ajaran, penyampai ajaran, lakon ritual, orang-orang suci, tempat suci, dan benda-benda suci. Walaupun agama bermacam-macam, namun komponen itu didapati disemua agama, dengan demikian, selain merupakan keyakinan, agama juga mengandung simbol-simbol yang oleh penganutnya dinilai sebagai sesuatu yang suci yang perlu dipertahankan.

5. Tokoh Agama

     Sebagai pemimpin agama, dia mampu mengobarkan atau menentramkan emosi keagamaan pengikutnya. Bila terjadi konflik sosial, yang kebetulan pihak yang terlibat adalah bagian dari penganut agama yang berbeda, maka isu agama mudah masuk. Tidak jarang tokoh agama ikut terpengaruh oleh isu-isu tersebut. Kalau hal seperti itu terjadi, maka dikhawatirkan para tokoh agama akan ikut terlibat dalam konflik.

6. Sejarah

    Dalam konteks penyiaran agama, “kufr” sering diaplikasikan sebagai “lawan agama”, atau dipertajam lagi menjadi “musuh agama”. Dalam pandangan seperti ini, maka golongan yang tidak beriman menjadi abash untuk diperangi. Latar belakang sejarah agama, umumnya menyimpan kasus-kasus seperti ini. Terkadang oleh pandangan yang ekstrem yang seperti itu, pertumpahan darah sering terjadi. Dalam kasus sosial, kadang-kadang muatan sejarah keagamaan ini lagi-lagi dimunculkan, hingga dapat menyulut terjadinya konflik.

7. Berebut Surga

     Setiap agama mengajarkan kepercayaan akan adanya kehidupan abadi setelah kematian, yaitu surga dan neraka. Semua manusia pasti berharap akan masuk surga. Dalam upaya memperoleh “tiket” surga, seseorang meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadahnya. Sayangnya dalam kehidupan beragama, sering terjadi kebalikannya. Peta dan kenikmatan surgawi diperebutkan dengan mengorbankan kelompok lain. Ada kecenderungan mendeskreditkan orang atau kelompok lain. Barangkali usaha untuk memperebutkan akan surga akan timbul bukan saja di dalam kelompok penganut agama yang berbeda, tetapi juga bisa terjadi dalam kelompok seagama. Bila pandangan seperti ini meningkat pada klaim sepihak, maka konflik pun tidak akan dapat dihindarkan. Paling tidak akan menumbuhkan rasa permusuhan.

G. Fatalisme

     Dalam kenyataan, umumnya nilai-nilai ajaran agama sering “dimanipulasi” hingga melahirkan pemeluk yang fatalis (berserah kepada nasib). Informasi wahyu dan risalah kerasulan direduksi maknanya menjadi sebaliknya, sampai-sampai para pemeluknya terbentuk menjadi kelompok yang nrimo. Mereka dibiasakan untuk menerima keadaan sebagai “gambaran nasib” yang sudah ditentukan dari “atas”.

Secara psikologis, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya fatalism, yakni:

1. Pemahaman agama yang keliru

     Sebagai manusia biasa, para agamawan memiliki latar belakang sosio-kultural, tingkat pendidikan, maupun kapasitas yang berbeda. Dalam kondisi seperti itu terbuka peluang timbulnya “salah tafsir” dalam memahami pesan-pesan dalam kitab suci maupun risalah rasul.

2. Otoritas Agamawan

     Dalam komunitas agama selalu ada pemimpin agamayang jadi panutan masyarakat pemeluknya. Popularitas yang dicapai sering dianggap sebagai sukses diri pribadi ini harus senantiasa dipertahankan dan bila perlu ditingkatkan lagi. Dalam kondisi seperti ini terkadang dengan menggunakan otoritas yang berlebihan, pemimpin agama terjebak kepada upaya untuk memitoskan ajaran agama. Ajaran agama dijadikan alat untuk “menyihir” pengikutnya. Kata-kata yang dikeluarkan harus dianggap sebagai fatwa yang bila dilanggar akan berakibat buruk. Sebaliknya “disuburkan” pula janji-janji “surgawi” yang muluk sebagai ganjaran yang diperuntukkan kepada mereka yang patuh dan taat. Pemimpin agama berusaha menciptakan situasi psikologis pengikutnya hingga terbentuknya sikap penurut.

KESIMPULAN

     Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masalah perilaku agama yang menyimpang merupakan sebagian masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat dan sudah lama menjadi bahan pemikiran. Maka penanggulangan masalah perilaku menyimpang ini perlu ditekankan bahwa segala usaha harus ditunjukan kearah tercapainya kepribadian yang mantap, serasi dan dewasa. Individu diharapkan menjadi orang yang berkepribadian kuat, sehat jasmani, rohani, kuat iman sebagai anggota masyarakat, bangsa dan tanah air.

    Dari sekian banyaknya contoh-contoh dari perilaku menyimpang di kehidupan sekitar. Kita sebagai manusia yang memiliki akal harus bisa memilah-milah mana yang baik dan mana yang tidak. Perlu pembekalan mental yang kuat bagi individu terutama para remaja agar tidak terjerumus dalam penyimpangan tersebut. Dengan mental yang kuat individu tidak akan mudah terjerumus dalam penyimpangan tersebut.                                              

Referensi:
Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: Rajawali Pers, 2005.
Muchsin Efendi, Lalu & Faizah. Psikologi Dakwah. 2006. Jakarta: Kencana

Tingkah Laku Agama yang Menyimpang

Nama/Nim            : Tania Monica 2011320057 Prodi/Kelas           : BKI 5B Dosen Pengampu  : Wira Hadikusuma, S A.  Pengertian Perilaku Me...